Meneropong Kondisi Alam BibokiAnleu Pasca Tambang Mangan dan Kehidupan Masyarakatnya

KEFAMENANU, TIMME–Dalam beberapa tahun terakhir ini, situasi dan kondisi alam mengalami eksploitasi yang berlebihan. Situasi ini terjadi secara besar-besaran ketika masuknya tambang logam sebagai upaya peningkatan lapangan pekerjaan sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan negara serta meminimalisir adanya kemiskinan di Indonesia. Namun, hal ini tidak hanya memberi dampak positif terhadap keberlangsungan hidup masyarakat sehari-hari. Dampak negatif pun justru lebih mempengaruhi keberlanjutan hidup masyarakat Indonesia pada umumnya. Misalnya, kehidupan masyarakat BibokiAnleu saat ini.

Sejak pertama kali tambang mangan masuk dan beroperasi di BibokiAnleu yang merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2012, masyarakat dipengaruhi oleh para investor-investor asing maupun lokal agar memberi tanahnya untuk diekploitasi sebagai ganti penghasilan. Tambang mangan yang masuk dan beroperasi pada tahun 2012 itu, menjadi salah satu pekerjaan pokok bagi masyarakat BibokiAnleu selama beberapa tahun. Sawah dan ladang pada saat itu tidak dikelola masyarakat selama beberapa tahun kemudian. Bahkan sawah atau pun ladang yang terdeteksi adanya mangan digusur secara besar-besaran dan liar. Masyarakat pun ikut terlibat dalam pengeksploitasian tersebut atas izin pemerintah daerah, Camat dan Desa setempat.

Dalam peraturan daerah kabupaten Timor Tengah Utara Nomor 3 tahun 2012 tentang pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, pemerintah daerah memberi izin pengelolaan kepada investor asing maupun lokal untuk mengelola seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.  Hal ini pun dilakukan agar pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.

Tambang mineral dan batubara dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) peraturan daerah Timor Tengah Utara Nomor 3 tahun 2012 tersebut, dikelompokkan dalam empat golongan komoditas tambang, yakni;

  1. Mineral logam
  2. Mineral bukan logam
  3. Batuan dan
  4. Batubara.

Sementara  pengelolaan tambang di BibokiAnleu dimaksud pasal 6 ayat (3) peraturan daerah kabupaten Timor Tengah Utara  tercantum dalam huruf c. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya yaitu pengelolaan tambang mangan.

Aktivitas ini berjalan lancar selama beberapa tahun. Bahkan sebagian besar masyarakat BibokiAnleu menikmati hasil dari tambang mangan tersebut. Namun, ironisnya hampir sebagian besar masyarakat menjadi korban atas tertindihnya gumpalan tanah hasil eksploitasi. Bukan hanya itu, kerusakan alam terjadi secara masal dan besar-besaran di kecamatan BibokiAnleu. Lubang tanah hasil galian dengan kedalaman mencapai ratusan meter, demikian pun luasnya, yang bersebaran di sekitaran.

Situasi inilah yang kemudian berpengaruh terhadap krisis air bersih dan curah hujan yang menurun drastis serta meningkatnya suhu panas yang sangat tinggi. Curah hujan yang menurun drastis ini,  terjadi setelah pemberhentian penggalian tambang mangan hingga saat ini. Sehingga sampai sejauh ini, aktivitas pertanian maupun ladang masyarakat BibokiAnleu mengalami kemerosotan yang signifikan. Bahkan kondisi alam layaknya padang gurun. Pohon-pohon besar tumbang tanpa pamrih, rumput dan tanaman sejenisnya pun tidak mampu tumbuh dengan baik.

Akibatnya kebutuhan hidup masyarakat menjadi merosot dan menciptakan banyakpengangguran. Sehingga untuk membendung adanya situasi semacam itu masyarakat memilih untuk meninggalkan kampung halamannya (merantau)  demi kebutuhan hidup sehari-hari. Kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian terjadi secara terus-menerus. Putus sekolah anak pun mengalami hal serupa. Konflik dan pertikaian antar sesama tak terelakan. Hal ini sudah barang tentupenyebabnyaadalah tambang mangan yang berefek pada kerusakan alam sehingga kegiatan pertanian tidak berjalan dengan baik. Sehingga menciptakan masalahindividual, masalah dalam keluarga (rumah tangga) maupun masalah sosial.

Namun, mirisnya Pemerintah daerah, Camat dan Desa setempat tidak memiliki kesadaran untuk menggerakan masyarakat agar supaya menata ulang lingkungan alam sekitar yang mengalami kerusakan yang sangat serius,  dengan cara penanaman ulang (reboisasi) atau restorasi ekologi untuk pemulihan lingkungan alam sekitar. Oleh karena, upaya inilah yang hanya bisa dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Dan perlu adanya kerjasama antara pemerintah daerah, Camat, Desa dan masyarakat BibokiAnleu pada umumnya untuk mengembalikan wajah alam BibokiAnleu demi keberlangsungan dan keberlanjutanhidup masyarakat BibokiAnleu.

Oleh : Yulius Nipu

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *