Manusia Ironis: Kritikan Richard Rorty Terhadap Krisis Solidaritas di Indonesia

Oleh Faustino Da Cruz

Mahasiswa UNWIRA Kupang
Fakultas Filsafat

 

Solidaritas merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang tertanam dalam budaya Bersatu, budaya gotong royong dan budaya saling membantu.

Nilai yang luhur ini perlu diperhatikan oleh para pemimpin masyarakat melalui pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian, dan gotong royong perlu ditingkatkan sejak dini.

Agar para politikus dan para pemimpin membantu orang yang berkekurangan, mereka tidak ada ideologi-ideologi dasar dan alasan-alasan moral. krisis solidaritas itu terjadi ada kemungkinan besar karena sikap manusia di abad-21 didorong oleh sikap egois dan materialistis, di mana orang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa peduli dengan orang lain.

Beberapa tahun lalu, dunia dihebohkan oleh pandemi Covid-19, di mana banyak orang yang kehilangan nyawa dan krisis psikologi di dunia jiwa.

Namun di balik pandemi, sebenarnya dunia mau membuka mata manusia yang telah buta terhadap solidaritas. Maka, dengan situasi pandemi, banyak gerakan masyarakat yang muncul untuk saling membantu selama pandemi, seperti penyediaan makanan gratis untuk petugas kesehatan dan masyarakat terdampak. Namun perlu diperhatikan bahwa di balik bantuan itu ada ideologi-ideologi tertentu yang mendorong orang.

Ada yang membantu karena ada hubungan darah,warna partai, tanda religius dan gaya budaya supaya pribadi, kelompok dan lembaga dapat “viral”. sebenarnya itu adalah sikap kejam. Maka penulis menghadirkan kritikan Rorty terhadap sikap kejam itu dengan sikap Ironis.

Bagaimana dengan sikap Manusia Ironis?

Menurut Richard Roti dalam bukunya Suseno berjuduL 12 TOKOH ETIKA Abad ke-20 (2022) mengartikan manusia ironis memiliki tiga ciri.

Pertama, memiliki keraguan yang radikal dan berkelanjutan mengenai keyakinannya yang digunakannya saat ini.
kedua, keraguan ini tidak akan pernah hilang atau terhapuskan dengan setiap kosakata baru yang dikonstruksinya entah melalui buku maupun melalui perjumpaannya dengan orang lain.
Ketiga, ketika ia mem-filsafati kehidupannya, ia tidak pernah memandang bahwa kosakata atau gagasannya lebih dekat dengan realitas dibandingkan dengan yang lain.

Tiga ciri ini menandakan bahwa seorang manusia ironi tidak akan pernah mengabsolutkan keyakinannya atau kosakata akhirnya. Ia selalu menyadari bahwa semuanya dapat berubah akibat perjumpaan dengan kosakata lain yang dibaca dalam buku-buku atau melalui dialog dengan orang lain.

Semua orang memiliki hak yang sama untuk merumuskan kosakata akhir dan berpegang teguh pada hal tersebut. Manusia ironis dengan demikian ialah dia yang sanggup merumuskan kosakata akhirnya dan bila diperlukan merumuskan ulang kosakata akhir tersebut karena tidak ada finalitas.

Rorty menggambarkan manusia ironis sebagaimana Sarte katakan sebagai “meta stabil”, yaitu seseorang yang sadar dan dengan demikian tidak akan pernah benar-benar sanggup meyakinkan dirinya sendiri, bahwa upaya-upaya manusia untuk merumuskan pandangan dan keyakianannya dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk di dalamnya filsafat, bisa berubah karena kerapuhan dari bahasa manusia, dari kata-kata dan dari hidup manusia itu sendiri. Dibutuhkan keterbukaan yang besar untuk sanggup menjadi manusia ironis.

Kosakata akhir sendiri tentu saja merupakan rangkuman dari akumulasi pengetahuan, pengalaman, proses hidup dan perkembangan peradaban manusia. Proses yang dilalui untuk sampai kepada kosakata akhir itu tentu saja dinamis dan terkadang konfliktual.

Maka kendati kosakata akhir bisa berubah, halnya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sebenarnya, Dia akan menggunakan idiologi-idiologi ini untuk memerintah mereka yang lemah dan mengklaim akan membahagiakan, memurnikan atau menyucikan umat manusia. Sehingga mereka yang lemah dan tidak mempunyai kuasa akan dikendalikan dengan prinsip-prinsip umum (aturan) sehingga menjadi prinsip etis untuk bersolider dengan yang lain. Richard Rorty adalah seorang filsuf dari Amerika yang menolak untuk mendasarkan keyakinan ini atas prinsip-prinsip etis. Dia mengatakan bersolider tidak harus didasarkan pada suatu landasan metafisik atau prinsip-prinsip umum (aturan).

Dalam masyarakat pluralis, hidup komunitas-komunitas dengan pandangan dunia, nilai-nilai dan pandangan religious yang berbeda, sementara mendasarkan moralitas masyarakat pada pandangan religious atau ideologis tertentu justru akan counter productive (berlawanan) karena tidak semua meyakininya.

Dalam masyarakat pluralis, ancaman terhadap kehidupan toleren dan berdamai datang dari pandangan dogmatis dan ideologis yang mau memaksakan moralitas mereka. Dengan kata lain, seseorang bermoral harus didasarkan pada idiologis tertentu agar kebenaran dapat diakui.

Richard Rorty menolak segala usaha untuk mendasarkan keyakinan ini atas prinsip-prinsip etis lebih universal. Bahwa kita jangan bersikap kejam, tapi kita harus bersolider dengan orang lain, menurut Rorty tidak mungkin didasarkan pada suatu landasan metafisik atau pada prinsip-prinsip umum.

Dalam bukunya Contingency, Irony and Solidarity, ia mengembalikan segala hiruk pikuk pertimbangan etis pada satu keyakinan atau tekad, yaitu “Cruelty is the worst thing we do”. Rorty juga melihat adanya kehancuran tatanan sosial dalam situasi pluralisme kultural dan keagamaan.

Ketika tatanan sosial hancur dan nilai tradisional ambruk, maka perlu dipikirkan kembali bagaimana kita dapat membangun kehidupan bersama yang manusiawi dan solider.

Richard Rorty menegaskan jika seseorang ingin hidup bersolider dan tanpa dibatasi oleh pandangan-pandangan dogmatis atau idiologi-idiologi tertentu, maka seseorang harus menjadi manusia ironis. Di sini Rorty menjelaskan bahwa manusia ironis yang ia maksudkan ialah orang yang menyadari bahwa pandangan dunia, kepercayaan dan keyakinannya yang paling mendalampun bersifat kebetulan. Ia juga menyatakan bahwa kosa kata akhir miliknya bersifat kebetulan.

Artinya, ia tahu bahwa hal-hal yang sungguh-sungguh dipercayainya, yang betul-betul diyakininya, tergantung dari kosa kata akhir yang dipakainya dan bahkan kosa kata akhir itu terkondisi oleh segala macam perkembangan kebetulan. Ia menerima bahwa orang lain mempunyai pandangan dunia, kepercayaan-kepercayaan dan keyakinan-keyakinan lain dengan hak yang sama. Manusia ironis sadar bahwa kosa kata akhir yang dipakainnya dapat saja berubah

Kesimpulan

Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pemikiran Rorty adalah sebuah tawaran yang diberikan kepada kita untuk menanggapi situasi kehidupan di Abad-21 ini. Seperti apa yang disampaikan oleh Rorty sendiri, bersikap etis atau bersolider dengan yang lain tidak memerlukan dasar-dasar tertentu atau alasan-alasan tertentu untuk membatasi semuanya itu.

Semua orang mempunyai kehendak bebas untuk melakukan perbuatan baik dan tidak perlu dipaksakan secara rasional sehingga membatasi kita dalam bertindak dan berlaku sebagai manusia yang terhadap sesamanya. Maka lakukan saja apa yang baik terhadap sesame, tampa ada ideologi politik dan agama serta budaya.

SUMBER PUSTAKA
Rorty, Richard, Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge: Cambridge University Press, 1989
Suseno, Magnis Franz, 12 TOKOH ETIKA Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2022
Kremer, Alexander, “An American Leftist Patriot” dalam The Journal of The Central-European Pragmatist Forum, vol. 2, 2011




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *